SINAR BEMO — Danau Tigi yang terletak di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua, merupakan salah satu danau alami yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Terletak di kaki Gunung Deiyai pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut, danau ini menyuguhkan panorama pegunungan yang sejuk dan tenang, sekaligus menyimpan kekayaan ekosistem air tawar yang luar biasa.
Danau Tigi memiliki kedalaman sekitar 150 meter dan mendekorasi sebuah pulau kecil bernama Pulau Duamo. Bersama Danau Paniai, Danau Tage, dan Danau Makamo, Danau Tigi merupakan bagian dari wilayah adat Meepago yang memiliki nilai ekologis sekaligus budaya yang tinggi bagi masyarakat Papua.
Ekosistem Air Tawar yang Kaya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak dulu, Danau Tigi menjadi habitat berbagai jenis ikan seperti mujair, gurami, lele, udang, gabus, dan belut. Aktivitas menangkap ikan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar. Teknik penangkapan yang digunakan pun beragam, mulai dari menjala, memancing, menyelam, hingga membuat kolam jebakan dari rumput yang dirancang secara tradisional.
Kini, ikan lele dumbo menjadi salah satu jenis yang paling populer karena ukurannya yang besar dan nilai jualnya tinggi. Seekor lele dumbo bisa dijual hingga ratusan ribu rupiah, menjadi sumber penghasilan utama bagi sebagian besar nelayan. Keanekaragaman jenis ikan air tawar ini menjadi indikasi bahwa Danau Tigi memiliki daya dukung ekosistem yang masih baik.
Sumber Kehidupan dan Ketahanan Pangan
Air Danau Tigi bukan hanya menjadi tempat menangkap ikan, tetapi juga sumber kehidupan yang tak tergantikan. Setiap hari, masyarakat—baik orang tua, pemuda, maupun anak-anak—memanfaatkan danau ini untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga. Hasil tangkapan ikan umumnya dikonsumsi langsung atau dijual di pasar lokal, bahkan kepada pegawai negeri atau guru yang tinggal di kampung-kampung sekitar.
Menariknya, hampir setiap rumah memiliki kolam kecil untuk memelihara ikan. Namun pemeliharaan ini masih bersifat tradisional dan lebih untuk konsumsi pribadi. Belum banyak masyarakat yang memahami budidaya ikan secara modern dan berorientasi pasar.
Dari Konsumtif Menuju Produktif
Seiring berjalannya waktu, pola pikir masyarakat mulai bergeser. Dulu, hasil tangkapan ikan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kini, sebagian besar nelayan mulai menerapkan prinsip ekonomi dalam memasarkan ikan. Penghasilan dari penjualan ikan tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk biaya pendidikan anak-anak hingga jenjang perguruan tinggi.
Perubahan ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Danau Tigi tidak lagi sepenuhnya konsumtif. Mereka mulai berpikir produktif dan berupaya memaksimalkan sumber daya alam yang tersedia untuk peningkatan kesejahteraan jangka panjang.
Tantangan dan Peran Generasi Muda
Meski potensi besar sudah ada di depan mata, pemanfaatan Danau Tigi belum sepenuhnya optimal. Salah satu tantangan utamanya adalah kurangnya edukasi mengenai budidaya ikan yang efisien dan berkelanjutan. Generasi muda, khususnya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang perikanan, diharapkan dapat mengambil peran lebih besar dalam memberikan penyuluhan, melakukan praktik budidaya, hingga pemasaran hasil perikanan secara modern.
Oleh karena itu, masyarakat tidak harus selalu bergantung pada danau untuk mencari ikan. Budidaya di kolam rumah bisa menjadi solusi jangka panjang yang memberi pemasukan rutin tanpa menguras ekosistem alam.
Kesimpulan: Potensi Lokal, Kunci Kemandirian Ekonomi
Danau Tigi adalah simbol potensi lokal yang luar biasa. Dengan kekayaan ekosistem dan semangat masyarakat yang terus berkembang, wilayah ini bisa menjadi model pemberdayaan berbasis sumber daya alam. Tidak diperlukan modal besar untuk memulai usaha penangkapan ikan di sekitar Danau Tigi—alam telah menyediakan semuanya. Yang dibutuhkan adalah kesadaran, pengetahuan, dan dukungan lintas sektor agar masyarakat bisa mandiri secara ekonomi, tanpa harus meninggalkan kearifan lokal.