Kisah Inspiratif Simion Kotouki Belajar guitar dari nol Hingga Profesional.
Awal Mula Gitar Pertama
YAMAHA adalah merek gitar pertamaku. Gitar ini buatan China, seperti tertulis kecil di bagian bawah bodinya. Benda ini bukan sekadar alat musik, tetapi sebuah kenangan yang menyimpan makna mendalam. Gitar itu dibelikan ayahku dari atas kapal KM Labobar, sekembalinya dari Holandia—sekarang Jayapura—pada tahun 2007. Saat itu, kakak sulungku, berinisial Y.K., baru saja diwisuda, sementara aku masih duduk di kelas 6 SD YPPGI Wakeitei, kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Deiyai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum keberangkatannya, aku sempat berpesan, “Bapak, belikan saya gitar.” Ayah hanya tersenyum dan berkata, “Baik, Bapak akan belikan.” Jawaban itu membuat hatiku berdebar penuh harap. Sepeninggal ayah, tiap hari aku menunggu-nunggu kepulangannya sambil membayangkan gitar yang dijanjikan.
Beberapa minggu kemudian, ayah pulang. Saat menyerahkan gitar YAMAHA itu, ia berkata, “Gumulanmu sudah terjawab. Belajarlah sungguh-sungguh dan rawat baik-baik.” Aku hanya terdiam, menahan haru. Janji ayah telah terpenuhi. Gitar itu menjadi sahabat baruku.
Gitar Kapok dari Sang Kakak
Beberapa bulan setelah itu, kakakku pulang ke Waghete, tempat ayah bertugas sebagai pendeta di Jemaat Antiokhia, Klasis Tigi. Saat kakak datang, aku sedang bermain di luar rumah. Menjelang senja, aku kembali, dan adikku Y.K. langsung menyambutku, “Tadi Kakak datang, dan dia bawa gitar Kapok!”
Nama “Kapok” sempat asing di telingaku, tapi tak lama kemudian aku sadar bahwa itu adalah merek gitar yang mulai populer di kalangan anak muda Mee. Kapok dikenal karena suaranya yang jernih dan daya tahannya. Ketika masuk rumah, aku melihat gitar Kapok berwarna hitam oranye yang dibawa kakak. Meski bukan gitar baru—karena pernah ia gunakan saat kuliah di Jayapura—aku tetap bahagia. Kini aku memiliki dua gitar: YAMAHA dari ayah dan Kapok dari kakak.
Mulai Bermain Melodi
Sejak saat itu, semangatku belajar gitar semakin tinggi. Setiap pagi, saat Mama memasak petatas di tungku api, aku duduk di sebelahnya sambil memainkan gitar. Fokusku adalah mempelajari melodi, bukan sekadar iringan. Mama sering menegur, “Main gitar itu harus sambil menyanyi,” tetapi aku tetap tekun belajar nada dan petikan.
Pada tahun 2009, menjelang Hari Ulang Tahun Gereja Kemah Injil (KINGMI) Papua yang diperingati setiap 6 April, diadakan berbagai lomba antar jemaat. Salah satunya adalah lomba vokal grup anak-anak. Saat itu aku baru masuk SMP, dan ayah sedang melayani di Gereja Antiokhia Wakeitei.
Lagu wajib lomba saat itu adalah “Tuntutan Aku Tuhan Allah” dari buku Nyanyian Kemenangan Iman (NKI). Kami mulai berlatih tanpa alat musik, hanya fokus pada notasi dan vokal. Setelah mulai menguasai lagu, pelatih kami meminta menambahkan iringan musik. Aku pun diberi kepercayaan memainkan melodi gitar.
Awalnya, aku masih kaku dan gugup. Tapi pelatih menyemangati, “Belajar saja pelan-pelan, ini baru awal.” Aku berlatih setiap hari di rumah. Hingga hari perlombaan tiba, aku bisa memainkan melodi dengan lancar. Grup kami meraih juara pertama. Itu adalah momen penting: pertama kalinya aku tampil sebagai pemain melodi, dan berhasil.
Menjadi Pengiring Ibadah Sekolah Minggu
Sejak kemenangan itu, setiap kali ada pujian anak sekolah Minggu, aku sering diminta mengiringi dengan gitar. Kakak-kakak yang lebih senior memberi ruang bagiku untuk tampil. Setelah mereka melanjutkan studi, aku pun menjadi pengiring tetap. Dari situlah perjalananku bermain melodi semakin berkembang.
Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, gitar YAMAHA dan Kapok itu masih kusimpan. Keduanya bukan sekadar alat musik, tapi saksi bisu perjalanan awal seorang anak Papua meniti jalan bermusik, dari tungku dapur sederhana hingga panggung kecil sekolah Minggu.