Siang yang terik menyengat kulit, namun tak mampu mengalahkan semangat seorang ayah dengan janggut mulai memutih. Ia pulang ke rumah, tempat lima putra tercintanya menanti. Setelah melepaskan pakaian yang basah oleh peluh, aroma kerja kerasnya menguar.
“Mak, sudah masak?” tanyanya dengan nada lapar yang tertahan.
“Sabar ya, Pak. Jangan terlalu keras suaranya, nanti tetangga mendengar,” jawab istrinya, ibu dari lima jagoan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kok menjawab?” sahut Pak Asrul dengan wajah menahan emosi.
“Pak, jangan marah. Sudah disiapkan kok. Kenapa dicari masalah?” timpal istrinya dengan suara merendah.
Pak Asrul dikenal sebagai pria keras kepala yang enggan dinasihati dan selalu ingin mengikuti kemauannya sendiri. Sifat egoisnya sering kali membuatnya tidak disukai oleh rekan kerjanya.
Suatu hari, atasannya memberikan sebuah tanggung jawab besar. Baginya, perintah tanpa adanya kejelasan tugas terasa sebagai beban berat, sebuah kebiasaan sejak ia muda. Setibanya di rumah, ia segera mengajak istrinya berbicara, mencari alasan yang dapat diterima oleh pendamping hidupnya.
“Mak, aku minta maaf atas sikapku beberapa waktu lalu. Aku baru menyadari bahwa tindakan kerasku itu salah,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Sudahlah, Pak. Itu sudah berlalu. Memangnya Bapak bisa memutar waktu?” jawab istrinya, menerima permintaan maaf suaminya.
“Iya, Mak. Tapi aku jadi malu dengan perbuatanku sendiri,” katanya sambil tersenyum kecil dalam hati.
“Ya sudah, Pak. Jangan menyesal. Hidup ini memang tidak selalu indah,” hibur istrinya.
Dalam hatinya, Asrul merasa telah berhasil meluluhkan hati istrinya, yang sempat ia ragukan penerimaannya.
“Mak… bisa bantu Bapak?” tanyanya kemudian.
“Ada apa, Pak?” jawab istrinya dengan nada bertanya.
“Mak, Bapak punya pekerjaan mendesak, malam ini harus selesai. Bisa bantu Bapak?”
“Oh… tentu, Pak,” jawab istrinya dengan yakin.
“Begini, Mak… Bapak diangkat jadi bendahara di kantor, tapi Bapak bingung diminta membuat laporan keuangan. Baru sebulan ini Bapak menjabat,” jelasnya dengan nada memohon.
“Oh, itu gampang, Pak. Ingat upahnya ya, Pak. Lagipula, saya lulusan S1 Akuntansi, biar saya bereskan,” jawab istrinya dengan sigap.
“Iya, Mak, beres,” jawab Asrul, berusaha meyakinkan istrinya.
Semalaman sang istri begadang, menyelesaikan pekerjaan suaminya. Pagi harinya, dengan rasa penasaran, ia segera membangunkan suaminya.
“Pak, bangun… sudah siang, kok tidak sadar diri?”
Istrinya segera bangun dan berkata, “Pak, tugas sudah selesai. Ingat janji Bapak ya.” Ucapnya dengan mata masih mengantuk.
“Iya, Mak, beres… tapi tunggu kabar ya…”
“Baik, Pak. Jangan lama ya…” jawab istrinya dengan nada sedikit kecewa.
Waktu berlalu, namun janji tak kunjung ditepati. Istrinya menunggu dengan sabar, sementara suaminya masih belum memberikan kepastian.
Tiga bulan kemudian, akibat kinerjanya yang kurang baik, Asrul diturunkan jabatannya menjadi pimpinan seksi. Ia sangat kecewa, merasa tidak jujur, tidak adil, dan malu menatap istrinya yang penuh kesabaran.
Sang istri yang penyayang mencoba mengajak suaminya berbagi beban pikiran. Ia banyak berdiam diri, menunggu jawaban dari suaminya.
Lama kelamaan, beban pikiran membuat Asrul jatuh sakit. Ia mengalami sesak napas dan tubuhnya semakin kurus. Istrinya dengan penuh perhatian merawatnya dengan caranya sendiri hingga berbulan-bulan lamanya, dan akhirnya Asrul sembuh.
Suatu hari, istrinya bertanya, “Pak, kenapa diam saja? Kenapa tidak mau terbuka dengan saya? Memangnya saya ini siapa, Pak?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Mak… Bapak mohon dengarkan ya…”
“Iya, Pak,” jawab istrinya.
“Mak, Bapak sadar, Bapak ini sebenarnya orang yang galak, suka marah, emosi Bapak tidak terkontrol.”
“Bapak suka marah, menghalalkan segala cara hingga merebut jabatan tinggi itu, padahal itu bukan hak Bapak.”
“Oh, Pak, tidak apa-apa. Saya senang Bapak sudah berubah, sekarang sudah tidak seperti dulu lagi,” puji istrinya dengan tulus.
Anak-anak yang selama ini merasa takut, kini bahagia melihat perubahan pada ayah mereka.
Agus, anak pertama yang sudah duduk di bangku SMA dan sebentar lagi lulus, suatu sore mendapati dirinya hanya berdua dengan ayahnya di ruang tamu yang sunyi.
“Nak, kamu sudah besar. Jaga adik-adikmu baik-baik ya. Mereka masih kecil,” pesan ayahnya dengan nada memohon.
“Iya, Pak. Tapi kenapa Bapak bicara seperti itu? Memangnya Bapak mau ke mana?” tanya Agus dengan rasa penasaran.
“Tidak pergi. Bapak hanya menyampaikan supaya kamu menjadi dewasa dalam mengatur rumah tangga.”
Seminggu kemudian, anak-anak asyik bermain di halaman rumah. Ayah mereka terbaring tak sadarkan diri di ruang tamu, di atas kursi sofa.
Waktu menunjukkan pukul 15.20, Agus masuk dan mengira ayahnya sedang tidur. Namun, pukul 20.00, ia memeriksa kembali dan mendapati ayahnya masih dalam posisi yang sama.
Ia segera menyentuh tubuh ayahnya, namun tidak ada gerakan. Agus seketika menangis dengan suara keras, membuat ibu dan adik-adiknya terkejut dan menyadari bahwa ayah mereka telah tiada. Mereka segera memeluk tubuh ayah dan suami tercinta itu, tangisan mereka pecah bersamaan. Suara tangis yang menggema hingga ke luar rumah mengundang kedatangan para tetangga.
Beberapa minggu kemudian, sang istri menyesali sikapnya yang terkadang membalas ucapan suaminya dan menuntut hal yang lebih dari kemampuannya, padahal suaminya telah menyadari kesalahan dan berusaha berubah.
Masa ujian akhir sekolah Agus tiba. Ibunda dari lima anak itu mengajak putra sulungnya berbicara.
“Nak, sebentar lagi kamu akan kuliah, tapi sementara ini urusan pensiunan ayahmu belum selesai. Bantu Mama dulu ya, masih ada waktu,” pinta ibunya.
“Ma… kita bereskan ini. Adik-adikku masih kecil semua,” jawab Agus menyanggupi permintaan ibunya.
“Terima kasih, Nak, sudah bersedia,” ucap ibunya dengan haru.
Setelah beberapa waktu, urusan ibunda dan Agus selesai. Ia telah lulus SMA dan tiba saatnya untuk melanjutkan studi ke kota. Ia berpesan kepada ibunya agar tidak bersedih.
“Mak, besok aku sudah berangkat. Jangan khawatir ya, pasti aku baik-baik saja di sana,” pesannya.
“Iya, Nak. Jaga diri baik-baik, fokus sekolah ya,” pesan ibunya penuh harap.
“Iya, Mak, pasti aman,” jawab Agus dengan senyum tipis.
Keesokan harinya, tiba saatnya Agus berangkat. Ibunya menangis mengantarnya hingga mobil yang membawanya menghilang dari pandangan.
Agus adalah anak yang rajin dan fokus. Ia telah mencapai puncak studinya. Dua bulan lagi ia akan wisuda. Kabar bahagia itu segera ia sampaikan kepada ibu dan adik-adiknya melalui telepon.
Mama: “Halo…”
Agus: “Iya, Ma… Dua bulan lagi aku wisuda,” jawabnya dengan penuh sukacita.
Mama: “Oh… kamu wisuda bulan depan?”
Agus: “Iya, Ma…”
Mama: “Mama dan adik-adik akan datang.”
Agus: “Iya, Ma…” jawabnya sambil menutup telepon.
Tiga hari kemudian, ibu dan adik-adik Agus tiba di kota. Agus menjemput mereka di bandara dan membawa mereka ke kost yang telah ia huni selama empat tahun.
Di hari wisuda, pagi-pagi sekali Agus sudah bangun, menyiapkan sarapan, dan mengajak keluarganya makan. Pukul 7.00 pagi, ia mengajak ibunya bersiap-siap.
“Ma… siap ya, jam 9.00 kita sudah harus berada di ruangan,” ajaknya.
“Iya, Nak. Mama mandi dulu ya.”
“Iya, Ma…”
Adik-adik Agus juga segera bersiap. Setelah semua siap, mobil yang telah Agus pesan sehari sebelumnya tiba. Bunyi klakson pendek beberapa kali mengajak mereka untuk naik.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, mereka tiba di halaman sebuah gedung dengan parkiran mobil yang tertata rapi. Ibu dan Agus segera masuk ke dalam ruangan ber-AC yang ramai.
Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, nama Agus dipanggil. Mata ibunya langsung tertuju padanya, air mata haru mengalir di pipinya. Agus menundukkan kepala, ikut terharu. Akhirnya, acara wisuda selesai.
Sebagai anak pertama, Agus memperhatikan adik-adiknya yang masih duduk di bangku sekolah. Mereka kemudian pergi menuju tempat wisata yang agak jauh dari kota.
“Kita ke wisata alam ya, mumpung masih siang,” ajak Agus.
“Iya, Gus, terima kasih sudah mengajak kami jalan-jalan,” jawab adik-adiknya serempak.
“Oh iya… kita makan dulu ya?” tanya Agus.
“Nanti pulang saja ya, Gus,” jawab ibunya.
Setelah kurang lebih satu jam menikmati keindahan alam, mereka kembali ke kost. Keesokan harinya, ibu dan adik-adik Agus berangkat kembali ke kampung halaman dengan taksi menuju bandara. Agus mengantar mereka hingga bandara.
Satu bulan kemudian, Agus pulang ke kampung halaman. Seminggu setelahnya, ia mendapat informasi tentang lowongan pekerjaan di tempat kerja ayahnya dulu. Ia segera melamar dan diterima.
Kinerja Agus yang luar biasa menarik perhatian banyak orang. Proses kenaikan pangkatnya yang cepat membawa kemajuan bagi perusahaan dan kebahagiaan bagi keluarganya. Ia berhasil membiayai pendidikan adik-adiknya hingga semuanya meraih gelar sarjana.
Suatu ketika, ibunya mengajak Agus untuk segera menikah.
“Gus… kamu sudah lama sendiri, segera menikah ya,” ajak ibunya penuh harap.
“Mak… aku belum kepikiran menikah, kok Mama bicara begitu?” jawab Agus.
“Hm… Gus, Mama hanya menyampaikan saja ya.”
“Iya, Ma… nanti aman, tenang saja, hehe,” jawab Agus sambil tersenyum.
Agus memikul tanggung jawab terhadap adik-adiknya layaknya seorang ayah. Ia telah berhasil membiayai pendidikan keempat adiknya hingga meraih gelar sarjana. Agus, yang kini menjadi sosok ayah bagi adik-adiknya, akhirnya menikah dengan seorang gadis dari desa tetangga dan memilih untuk tinggal di rumah sendiri yang telah ia beli.