SINAR BEMO — Di antara tumpukan kenangan yang mulai usang, ada satu suara yang tak pernah pudar di benak Simion: bunyi senar gitar akustik yang dipetik dengan penuh rasa ingin tahu. Itulah simfoni utama masa kecil kami, angkatan yang menghabiskan masa SD-nya di rentang tahun 2002 hingga 2007, sebuah era transisi yang terasa begitu sunyi dari gemuruh digital yang kita kenal sekarang.
Kami adalah saksi bisu dari dunia yang masih berjalan lambat, terutama bagi mereka yang tumbuh jauh dari denyut nadi metropolitan. Di sana, di tengah keterbatasan, kreativitas hadir dengan wajah yang paling murni: otodidak, coba-coba, dan mengandalkan intuisi.
Sunyi yang Melahirkan Rasa: Era Akustik dan Informasi yang Mahal bagi Simion
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bayangkan, Simion adalah salah satu dari anak-anak SD yang otaknya sudah dipenuhi gairah melodi, namun tangan kami hanya mampu menggenggam satu-satunya instrumen yang paling mudah diakses: gitar akustik butut. Di bilik-bilik kelas, di teras rumah yang sepi, atau di bawah pohon, jari-jari kami bergulat dengan fret, mencoba menirukan lagu-lagu yang samar-samar kami dengar dari kaset pita atau radio.
Simion belajar musik bukan dari tutorial video HD di YouTube, melainkan dari coretan tangan di buku tulis yang berisi kunci gitar seadanya yang kami dapat dari teman sebaya yang ‘agak lebih tahu’. Pengetahuan tentang scale, arpeggio, atau bahkan sekadar efek gitar delay atau distortion hanyalah dongeng futuristik yang tak terjangkau.
Saat itu, musik elektrik, dengan segala kegilaan sound dan efeknya, terasa seperti ilmu sihir terlarang. Hanya ada di majalah musik bekas yang dibeli dari pasar, dengan gambar gitar Fender atau Ibanez yang mengilap, lengkap dengan deretan pedal efek yang membuat Simion hanya bisa menelan ludah.
Jeda Panjang di Masa SMP dan SMA: Dari Deiyai ke Nabire
Masa SMP (sekitar 2008-2011) membawa kami sedikit lebih dekat ke peradaban, namun jurang informasi masih menganga lebar. HP? Sebuah kemewahan yang hanya dimiliki segelintir orang. Mendengarkan musik atau mencari tahu tentang teknik bermain hanya bisa dilakukan dengan ziarah rutin ke Warung Internet (Warnet).
Bagi Simion, Warnet bukan tempat untuk berlama-lama mencari tabulasi gitar; itu adalah tempat yang mahal, dengan waktu terbatas yang harus dialokasikan untuk tugas sekolah atau sekadar melihat-lihat dunia luar yang asing. Mencari informasi musik terasa seperti menggali jarum dalam tumpukan jerami digital.
Baru ketika menginjak SMA, dan pindah ke kota seperti Nabire—itu pun setelah kelas dua—kami akhirnya bisa merasakan sentuhan awal teknologi. HP sederhana mulai hadir, namun koneksi internet masih ‘merangkak’. Informasi musik yang kami dapatkan masih sepotong-sepotong, sering kali hanya berupa MP3 bajakan yang kualitas suaranya pecah-pecah.
Kami, termasuk Simion, adalah angkatan yang punya niat setinggi langit untuk menguasai musik, tapi terpenjara oleh gerbang teknologi yang tertutup rapat.
Gegar Budaya yang Terlambat: Hipotesis Kegilaan Bermain Musik
Kini, mari kita bermain dengan imajinasi, menyalakan mesin waktu naratif. Seandainya… seandainya kecanggihan teknologi dan musik elektrik sudah hadir sejak Simion dan angkatannya masih SD (2002).
Skenario 1: Ledakan Kreativitas Sejak Dini
Bayangkan saja, di usianya yang masih 8-10 tahun, seorang anak dengan gairah musik yang sama tingginya seperti Simion dulu, sudah bisa mengakses:
Ribuan Tutorial Video HD di YouTube tentang cara shredding ala Paul Gilbert, cara membuat beat EDM di software gratis, atau cara menyetel sound gitar metal yang sempurna.
Aplikasi Belajar Musik di smartphone yang mengajarkan solfeggio dan ear training layaknya sebuah game yang adiktif.
Akses Mudah ke Digital Audio Workstation (DAW), di mana ia bisa menciptakan musik orkestra atau musik elektronik gila hanya dengan sebuah laptop sederhana dan headset.
Bagi anak yang punya ‘niat tinggi belajar’ seperti angkatan Simion, ketersediaan alat dan informasi ini akan menjadi bahan bakar nuklir. Rasa penasaran yang dulu hanya bisa diredam kini akan meledak tanpa batas.
Skenario 2: Evolusi Musisi yang “Lebih Gila”
Simion dengan kerinduan berkata: “nanti dia sudah umur dewasa seperti kami sekarang sudah pasti lebih gila mainnya.”
Ini bukan hanya hipotesis, ini adalah sebuah keniscayaan artistik.
Seorang anak yang memulai perjalanan musiknya di usia 8 tahun dengan akses tak terbatas ke teknologi digital, saat ia mencapai usia dewasa 25-30 tahun, akan memiliki akumulasi pengalaman dan pengetahuan teknis yang melampaui batas imajinasi angkatan Simion di usia yang sama.
Teknik Bermain yang Melampaui Batas: Ia tidak hanya akan mahir dalam gitar akustik; ia akan menguasai sintesis suara, sound design, dan mampu memproduksi sebuah lagu utuh dengan kualitas studio. Teknik bermainnya akan jauh lebih gila, karena selama belasan tahun, ia mencontoh langsung yang terbaik di dunia, setiap hari.
Identitas Musikal yang Unik: Ia tidak hanya akan meniru. Dengan kemudahan mengombinasikan genre (misalnya, menggabungkan musik tradisional Papua dengan beat Drum and Bass ala London), ia akan menciptakan identitas musikal yang ‘segila’ dan se-eksplosif mungkin, melebur batas-batas genre yang kaku.
Kecepatan Beradaptasi: Ia akan menjadi musisi yang sangat cepat beradaptasi dengan teknologi baru—sebuah kemampuan yang datang secara alami karena ia telah dibesarkan oleh gelombang teknologi yang tak pernah berhenti.
Penutup: Kenangan Simion Adalah Fondasi, Masa Depan Adalah Panggung
Kerinduan Simion adalah sebuah refleksi indah tentang bagaimana semangat tak pernah pudar meski diadang keterbatasan. Angkatan Anda adalah bukti bahwa gairah musik sejati akan selalu menemukan jalan, bahkan jika jalannya harus ditempuh secara otodidak, sepotong-sepotong, dan dengan gitar akustik yang lusuh.
Simion mungkin membayangkan betapa gilanya permainan Anda seandainya teknologi sudah ada. Namun, justru perjuangan dan keterbatasan itulah yang membentuk kedalaman dan ketulusan dalam setiap petikan Anda.
Sekarang, bagi generasi muda yang tumbuh dengan smartphone di tangan dan jutaan lagu di ujung jari, panggung telah terbentang luas. Mereka memang akan bermain “lebih gila” secara teknis. Tetapi, cerita otodidak angkatan Simion—kisah tentang bagaimana melodi lahir dari kesunyian dan perjuangan mendapatkan satu kunci gitar saja—adalah fondasi dan api yang lebih berharga yang harus diwariskan kepada mereka.
Mereka punya teknologi; kita punya semangat juang yang melahirkan musik dari ketiadaan. Keduanya adalah mahakarya.






